
KELAHIRAN
KH. Abdul Karim atau yang akrab disapa dengan panggilan Mbah Manab lahir sekitar tahun 1856, di Dukuh Banar, desa Diangan, Kawedanan Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra ketiga dari pasangan Abdur Rahim dengan Salamah.
Ayah beliau adalah seorang petani dan juga seorang pedagang. Kehidupan keluarganya sebenarnya berkecukupan, hanya setelah sang ayah meninggal dan usaha itu dilanjutkan oleh sang istri serta tak lama kemudian Salmah, Ibu beliau menikah lagi.
WAFAT
Sekitar tahun 50-an, usia Mbah Manab sudah mendekati satu abad. Tetapi, usia itu tidak menghalangi niatnya untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1952, berkat bantuan biaya dari haji Khozin, seorang dermawan asal Madiun yang waktu itu juga hendak menunaikan ibadah haji, Mbah Manab ingin menunaikan ibadah haji kembali. Tetapi tatkala tiba di Surabaya, kondisinya tampak payah, sehingga tim dokter meragukan kesehatan kiai untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Tapi, karena niat itu sudah bulat, maka Mbah Manab melakukan berbagai cara. Atas bantuan KH. Wahid Hasyim akhirnya ia bisa berangkat dari Jakarta. Seusai ibadah haji kedua, Mbah Manab mulai menunjukkan tanda kurang sehat. Beberapa waktu, sempat sakit-sakitan. Akan tetapi yang cukup menyedihkan adalah kesehatan itu kian turun drastis sehingga saraf sebelah kaki tak lagi berfungsi, mengakibatkan ia lumpuh.
Sebenarnya kelumpuhan itu sempat diderita cukup lama, hampir satu setengah tahun. Sampai akhirnya saat memasuki bulan Ramdhan 1374, seminggu kemudian sakit Mbah Manab semakin kritis, sehingga tidak mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam jama`ah dalam shalat.
Tepat, pada hari senin ketiga di bulan suci Ramadhan tahun itu, atau tepatnya tanggal 21 Ramadhan 1374 H, sekitar pukul 13.30 KH. Abdul Karim dipanggil Sang Kuasa. Suasana sedih tentu melingkari keluarga Pesantren Lirboyo. Sebab, pendiri pesantren yang selama itu diagungkan telah tiada. Pada sisi yang lain, juga meninggalkan jejak bangunan pesantren yang perlu untuk diteruskan.
KELUARGA
Setelah cukup lama belajar di Pondok Pesantren Nurul Cholil yang diasuh oleh KH. Kholil Bangkalan, beliau merasa Manab sudah lulus. Lalu Manab pamit pulang. Namun sesampainya di Jawa Timur, dia mendengar salah satu sahabatnya kala mondok di Madura, KH. Hasyim Asy`ari telah 3 tahun membina Pesantren Tebuireng, Jombang yang membuat Mbah Manab singgah. Di pesantren ini, ternyata dia tidak sekedar singgah dan malah sempat nyantri selama 5 tahun.
Meskipun usia Mbah Manab ketika itu sudah mendekati setengah abad, toh dia belum juga melepas masa lajang. Tanpa diduga-duga, datang seorang kiai dari Pare kepada KH. Hasyim yang ingin mengambil menantu Mbah Manab. Tetapi, KH. Hasyim diam-diam menolak lamaran itu, karena ingin menjodohkannya dengan salah seorang putri kerabatnya, putri KH. Sholeh dari Banjarmlati, Kediri. Mbah Manab yang saat itu berusia 50 tahun akhirnya menikah dengan Khadijah yang berusia 15 tahun.
PENDIDIKAN
Suatu hari, Aliman pulang ke Magelang. Rupanya Aliman juga bermaksud mengajak Mbah Manab yang saat itu berusia 14 tahun untuk berkelana. Dengan berbekal restu orangtua, Mbah Manab akhirnya berangkat ke Jawa Timur.
Dalam perjalanan itu, keduanya sampai di Dusun Gurah Kediri, bernama Babadan. Di susun inilah, kedunya menemukan sebuah surau yang diasuh oleh seorang kiai, dan mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amalaiyah dengan membagi waktu sambil ikut mengetam padi, menjadi buruh warga desa saat panen tiba.
Setelah dirasa cukup, ia meneruskan nyantri ke pesantren yang terletak di Cepoko, 20 kilometer sebelah selatan Nganjuk, dengan bekerja di pesantren itu. Di sini, Mbah Manab belajar selama 6 tahun. Lantas pindah ke pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono. Di pesantren ini pula, konon Manab memperdalam al-Qur`an.
Dengan berjalannya waktu, Mbah Manab kian beranjak dewasa. Ia semakin menambah ilmu dengan tekun mengaji. Seakan tak puas hanya belajar di dua pesantren, Mbah Manab pindah ke Sidoarjo, pesantren Sono yang terkenal akan ilmu sorofnya. Di pesantren ini, ia mondok 7 tahun dan tidak lagi belajar sambil bekerja, karena seluruh kebutuhannya sudah ditanggung kakaknya. Mbah Manab sempat bercerita kepada cucu tertuanya, Agus Ahmad Hafidz, “Aku bisa nyantri, karena dianggat oleh kakakku”.
Di pesantren itu, dia memperdalam ilmu sorof. Karena dia ingin jadi spesialis ilmu gramatika Arab ini, sehingga memilih ilmu ini sebagai hobinya. Karena baginya, ilmu sorof itu bagaikan ibunya ilmu sedangkan nahwu adalah ayahnya ilmu. Dari Sono, ia lalu nyantri ke pesantren Kedungdoro dan kemudian ke Madura untuk nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan (wafat tahun 1923).
Saat belajar ilmu di Madura, Mbah Manab banyak menimba ilmu dan tak jarang menerima berbagai ujian. Sempat Mbah Manab bekerja guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama Abdullah Fiqih (dari Cemara, Banyuwangi) ke daerah Banyuwangi dan Jember. Tapi, apa yang terjadi setelah ia bersusah payah kerja dan pulang dengan membawa hasil. Justru, hasil dari kerjanya itu diminta oleh KH. Kholil untuk makanan kambing-kambing sang kiai.
Mau bagaimana lagi, Mbah Manab menyerahkannya. Rupanya, itu sebagai isyarat dari KH. Kholil bahwa Mbah Manab ternyata tidak diijinkan bekerja. Konon, sebagai gantinya Manab disuruh memetik daun pace yang tumbuh di sekitar pondok untuk makan sehari-hari. Dari daun itu, Mbah Manab mengganjal perutnya. Konon sering makan sisa kerak nasi dari teman-temannya atau kadang ampas kelapa.
Tetapi, semua ini tidak pernah ia keluhkan. Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini sehingga tak aneh jika Mbah Manab lebih dikenal sebagai santri yang betah dalam keadaaan lapar. Anehnya, semua itu bagi Mbah Manab dirasa sebagai bentuk “perjuangan” untuk mendapat sesuatu yang diharapkan kelak.
Di pesantren ini, hampir 23 tahun Mbah Manab nyantri. Saat itu ia sudah berusia 40 tahun, sehingga sudah mencerminkan sosok yang alim dan figur Manab-pun telah menampakkan sosok sesorang kiai. Tidak salah, jika santri-santri menempatkan Mbah Manab sebagai kiai, tempat untuk bertanya, minta pendapat dan berguru. Salah satu kiai yang sempat berguru kepadanya adalah Kiai Faqih asal Patik Nganjuk.
Kealiman Mbah Manab tentunya bukan sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Mbah Manab dengan tekun mengaji kitab-kitab kuning dan melakukan telaah. Meski dia kekurangan uang untuk membeli kitab, namun dia punya siasat jitu. Konon, Mbah Manab sering melakukan barter. Kitab yang sudah dia pelajari, dia tukar dengan kitab-kitab baru milik temannya. Kadang langsung dijual, lalu dari uang itu dia belikan kitab yang baru.
MENDIRIKAN PESANTREN
Walau sudah menikah, Mbah Manab masih nyantri di Tebuireng. Setengah tahun kemudian, karena sebagai suami, dia akhirnya bermukim di Banjarmlati mendampingi sang istri. Satu tahun kemudian, lahir seorang putri pertama, Hannah (1909) dan Manab masih belum memiliki rumah.
Akhirnya, KH. Sholeh berkeinginan membeli tanah di Lirboyo dan memberikannya kepada Mbah Manab. Pembelian itu tidak menemui masalah, sebab Lirboyo dikenal sarang dari keonaran sehingga lurah Lirboyo yang tak mampu lagi menentramkannya memohon bantuan KH. Sholeh untuk menempatkan menantunya agar masyarakatnya yang kering akan siraman rohani bisa sadar. Akhirnya, Mbah Manab pun menetap di Lirboyo.
Dari situ, Mbah Manab boleh dikatakan merintis dari awal. Bahkan, di awal-awal Mbah Manab menetap di Lirboyo tidak jarang kena teror. Tujuannya agar Mbah Manab tak betah. Tapi dengan ketabahan, Mbah Manab justru berhasil menyadarkan penduduk.
Lalu, Mbah Manab memulai membangun sarana peribadatan, musholla yang 3 tahun kemudian disempurnakan menjadi masjid tahun 1913. Dengan keberadaan masjid itu keberhasilan dakwah Mbah Manab kian nampak. Masjid itu tidak sekedar hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai sarana pendidikan dan pengajian.
Dari situ, banyak masyarakat yang kemudian berguru, malahan ada seorang santri yang datang dari Madiun, bernama Umar. Santri pertama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal keluarga besar Pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh Mbah Manab.
Dengan tekun, rajin dan tabah, Mbah Manab mengembangkan pesantren. Dalam satu dasawarsa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin bertambah, datang dari berbagai penjuru. Untuk itu, ia kemudian merelakan sebagian tanahnya untuk dihuni santri. Begitulah sifat Mbah Manab, seorang pemimpin sejati yang mendahulukan kepentingan orang di atas kepentingan pibadi.
TELADAN
Ada satu sisi kehidupan Mbah Manab yang patut diteladani, yakni suka riyadhah, mengolah jiwa (tirakat). Kebiasaan ini tak pernah ditinggalkan, sejak menuntut ilmu sampai berkeluarga dan menjadi kiai pemangku pesantren. Selain itu, sering menghidupkan shalat malam. Jarang tidur, toh jika tidur cuma sebentar. BeIiau habiskan malam dengan dzikir, munajat kepada Allah, membaca al-Qur`an dan menelaah kitab. Kebiasaan ini tak asing di mata santri.
Mbah Manab ini juga dikenal lembut. Terbukti ketika menyadarkan santri, kiai memilih jalan menasehatinya dengan tindakan dan kadang-kadang dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dinding pesantren. Pendek kata, kiai memilih jalan menasehati tanpa ada unsur pemaksaan. Apalagi, sampai dengan cara melukai hati.
Tapi, hal yang sungguh luar biasa adalah bentuk tawakkal yang dipegang teguh oleh Mbah Manab. Pernah Belanda menyerbu ke pesantren tapi ia tetap diam dan tak gentar sedikitpun. Meski demikian, di masa penjajahan Belanda, kiai tak lantas berpangku tangan. Bahkan pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), ia bersama para ulama sempat dipanggil ke Jakarta. Tujuan Jepang saat itu adalah untuk membentuk Shumubu, Jawatan Agama Pusat yang kemudian diketuai oleh KH. Hasyim Asy`ari dan Shumubu (JA Daerah).
Mbah Manab juga ikut menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah. Di samping itu, ia mengirimkan para santrinya untuk ikut bertempur di Medan laga, dua kali ke Surabaya dengan jumlah santri mencapai 97 dan 74 orang, dan sekali ke Sidoarjo dengan jumlah pasukan 309 santri. Juga sempat terlibat dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri. Jadi, sang kiai terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
KAROMAH
Dengan Sedekah Pergi ke Haji
Tapi belum sempurna jika Mbah Manab belum menunaikan rukun Islam kelima. Itulah yang masih mengganjal dalam benaknya. Karena itu, setelah kebutuhan santri dipenuhi, dia berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Awalnya, dia mau menjual tanah untuk biaya haji, tapi sebelum tanah itu terjual, kabar keberangkatan ternyata sudah tersiar.
Dari kabar itulah, banyak penduduk yang ingin mengucapkan selamat dan memberikan tambahan bekal. Anehnya, dari uang pemberian itu terkumpul uang banyak dan sudah bisa digunakan pergi haji dengan tanpa harus menjual tanah. Akhirnya, Mbah Manab pun berangkat ke tanah suci dan sepulang dari tanah suci itu, kiai Manab mengganti namanya menjadi KH. Abdul Karim.
No comments:
Post a Comment