Suatu hari Hadratusy Sуеіkh K.H. M Hаѕуіm Aѕу'аrі merasa muѕуkіl ѕеuѕаі mеmbаса secarik kеrtаѕ bеrbаhаѕа Arаb уаng disodorkan рutrаnуа, K.H. A. Wаhіd Hasyim. Kepada putranya, уаng saat itu dіtеmаnі оlеh KH. Saifuddin Zuhrі, pemimpin Ansor Bаnуumаѕ, beliau mеmреrlіhаtkаn bаgіаn-bаgіаn isi ѕurаt уаng dirasa аmаt mеmbеrаtkаn hati іtu.
“Aku merasa susah sekali, karena ' guru saya ini marah kepada saya. Masalahnya, karena saya mengizinkan terompet dan genderang yang dipakai anak-anak kita, Pemuda Ansor. Padahal guru saya ini mengharamkannya. ”
Demikianlah sekelumit cerita yang dicatat oleh K.H. Saifuddin Zuhri, saat pertama kalinya dia bertemu dengan Hadratusy Syeikh di kediamannya, Pesantren Tebuireng, Jombang. Guru yang dimaksud adalah KH. R. Asnawi]
Kiai Asnawi lahir di Kampung Damaran, Kudus, Jawa Tengah, pada 1281 hijriyah (sekitar 1861 masehi). Putra H. Abdullah Husnin, seorang pedagang konveksi yang cukup besar dan memiliki jalur nasab pada K.H. Mutamakkin, Kajen, Pati. Sedangkan dari ibunya, R. Sarbinah, bergaris keturunan pada Sunan Kudus, Raden Jakfar Shodiq. Untuk itulah di depan namanya tertulis huruf “R” singkatan dari kata Raden, putera seorang bangsawan Jawa.
Pendidikan: Belajar dasar-dasar agama dan al-Quran dan' ayahnya sendiri. Ketika berusia 15 tahun mengikuti ayahnya pindah ke Tulungagung. Di Kota Marmer itu dia belajar sambil bekerja. Pagi Hari Berdagang dan sore hingga malamnya mengaji di Pesantren Mangunsari Namun akhirnya ia lebih tertarik dengan dunia Pesantren. Orangtuanya melihat gelagat 1tu. Sampai akhirnya ia meminta agar anaknya tidak membantunya lagi demi menekuni pendidikan. Setelah beberapa tahun di Tulungagung, ia kembali ke kudus, berguru pada H. Irsyad, seorang penghulu di Mayong, Jepara.setelah sekian lama mendalami pendidikan di Mangunsari dan Mayong, ia mulai berani mengajar di beberapa tempat. Salah satunya adalah di Masjid Muria, yang berjarak 18 kilometer dari Kudus. Ketika usianya menginjak 30 tahun, ia dikirim orang tuanya ke Makkah untuk meneruskan pendidikan. Di sana ia belajar pada para ulama asal Jawa, seperti K.H. Soleh Darat (Semarang), K.H. Mahfudh at-Tarmisi (Pacitan), dan lain sebagainya. Juga belajar kepada para ulama Makkah seperti Sayid Umar Syatha. Setelah beberapa waktu lamanya belajar di Makkah, dia mulai mengajar. Para santri asal Jawa banyak belajar kepadanya, seperti Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, J ombang), Bisri Syansuri dan Soleh (Tayu, Pati), Dahlan (Pekalongan), Hambali dan Mufid (Kudus) serta Muchith (Sidoarjo). Ia juga turut aktif dalam gerakan Sarekat Islam, dan menjadi Komisarisnya di Makkah. Setelah bermukim selama 25 tahun, barulah ia kembali ke Kudus.
Pengabdian: Sebenarnya dia merencanakan tidak lama tinggal di Kudus, sebab istri dan anak-anaknya ditinggal di Makkah. Namun karena suatu peristiwa penting, menyebabkan dirinya tidak bisa kembali ke Tanah Suci. Ia dituduh terlibat dalam kerusuhan anti Cina. Sampai akhirnya bersama para kiai dan tokoh masyarakat Kudus ia dipenjara oleh Belanda selama tiga tahun.
Sekitar tahun 1924 datanglah salah seorang santrinya sewaktu di Makkah, KH. Abdul Wahab Hasbullah, ke Kudus. Dalam pertemuan itu dibicarakan tentang perkembangan paham keagamaan nasional, khususnya serangan kaum pembaru terhadap amalan para kiai yang dinilai menyimpang. Sampai akhirnya keduanya bersepakat untuk mendirikan benteng pertahanan akidah ahlussunnah waljamaah dalam bentuk organisasi, yang kelak dinamakan Nahdlatul Ulama, dua tahun kemudian.
Pada tahun 1926, ketika para kiai besar berkumpul di Surabaya untuk mendirikan jam'iyah Nahdlatul Ulama, Kiai Asnawi turut hadir di sana. Sebagai ulama senior, ia diangkat sebagai salah seorang Mustasyar (penasehat) dalam kepengurusan NU yang pertama, bersama K.H. Ridwan (Semarang), K.H. Mas Nawawi (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Doro Muntoho (Bangkalan), Syeikh Ahmad Ghonaim Al-Misri (Mesir) dan K.H. R. Hambali (Kudus).
Karena pengaruhnya yang besar, ia pernah didatangi oleh VanDer Plas, Penasehat Gubernur india Belanda dalam bidang agama. Meski ia seorang kafir, namun mahir berbahasa Arab, karena telah mendalami islamologi dngan matang. Bahkan dikabarkan ia hafal kitab Quran30 juz. VanDer Plas mendatangi Kiai Asnawi untuk menawarinya jabatan sebagai hakim agama. Keduanya berkomunikasi dengan Bahasa Arab yang sama-sama fasih.
Namun tawaran itu akhirnya ditolak oleh Kiai Asnawi dengan halus. Alasannya, sebagai seorang ulama dan mubaligh, dia merasakurang bebas jika menjadi pegawai pemerintah. Tugas menyampaikan kebenaran membutuhkan sikap kebebasan, independensi, keberanian dan tidak terpengaruh oleh siapapun. Dengan menjadi pegawai pemerintah, menurut Kiai Aswani, ia akan kesulitan menyampaikan dakwahnya, apalagi kalau sasaran dakwahnya justru pemerintah Belanda sendiri.
[Pada tahun 1953, suatu ketika Kiai Asnawi berkunjung ke rumah K.H. Saifuddin Zuhri. Secara tiba-tlba, tuan rumah langsung gugup dan minta maaf pada tamunya, lantaran dia memakai dasi -karena saat itu dia akan berangkat ke kantor. Dia ingat betul bagaimana dalam acara Konperensi Besar Ansor Kiai Asnawi marah besar sambil menarik dasi yang dikenakan salah seorang pimpinan Ansor. Tahu tuan rumah gugup dan minta maaf, Kiai Asnawi malah tersenyum, “Lain dulu, lain sekarang. Dulu saya mengharamkan dasi karena ada illat, yaitu tasyabbuh (menyerupai) dengan Belanda, orang kafir. Sekarang memakai dasi tidak haram lagi, karena tidak Tasyabuh dengan Belanda, tetapi menyerupai Bung Karno dan Abdul Wahid Hasyim…”]
Sebagai salah seorang Mustasyar PBNU, ia selalu aktif mengikuti kegiatan organisasi yang dicintainya, terlebih dalam forum muktamar. Terhitung sejak muktamar pertama di Surabaya (1927) hingga muktamar ke-22 di Jakarta (1959), ia hanya sekali absen, yaitu dalam dalam muktamar Medan (1952). Itu pun karena meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera. Ketika muktamar ke-22 di Jakarta berlangsung, ia berkata pada K.H. Mustain Romly dari Peterongan, Jombang: “In, rasa-rasanya ini merupakan kehadiranku yang terakhir di muktamar. Badan dan kekuatanku terasa sudah begitu lemah.”
Ternyata apa yang dikatakan Kiai Asnawi memang benar. Satu minggu setelah muktamar usai, tepatnya pada 26 Desember 1959, ia dipanggil menghadap sang Khaliq untuk selamanya. Ia wafat dalam usia 98 tahun. Jenazahnya dimakamkan di sebelah barat mihrab Masjid Menara, Kudus.
No comments:
Post a Comment