Dua Jam Bersama Guru Bakhiet - Muhibbin Pecinta Ulama

Terbaru

Home Top Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Post Top Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Monday, June 28, 2021

Dua Jam Bersama Guru Bakhiet

Mujiburrahman(Rektor UIN Antasar) dan Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet

Sudah lama saya ingin bertemu dan berbincang dengan salah seorang ulama kharismatik Banjar, Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet (1966-), yang akrab dipanggil ‘Guru Bakhiet’. Pimpinan Pesantren Nurul Muhibbin Barabai, Hulu Sungai Tengah ini tidak hanya mengasuh pengajian di kampung halamannya, tetapi juga di Balangan dan Banjarmasin yang biasanya dihadiri ribuan jemaah. Selain itu, pengajiannya juga disiarkan melalui radio, televisi lokal dan nasional (TV 9) serta media sosial. Penampilannya yang teduh-bersahaja, suaranya yang lembut, penjelasannya yang mudah dipahami dan wawasan keilmuannya yang luas, membuat banyak orang terpukau pada pengajiannya. Siang itu, saya dihubungi Nur Hidayatullah, alumni Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai dan dosen UIN Walisongo. Dia mengabarkan bahwa Guru Bakhiet akan berkunjung ke Banjarmasin. Ini berarti suatu kesempatan emas bagi saya untuk bertemu dengannya. Melalui Nur Hidayatullah, yang berteman dengan seorang murid-khadam Guru Bakhiet, saya akhirnya dapat bertemu tokoh ini, tepatnya pada Jumat malam, 21 Mei 2021, di kediamannya yang terletak di sebuah kompleks perumahan, kawasan Handil Bakti, perbatasan Banjarmasin dan Barito Kuala.

Karena masih suasana pandemi, malam itu tidak ada pengajian. Guru Bakhiet tampaknya hanya ingin bersilaturrahmi dengan sedikit orang. Kalau saya lihat sekilas, hanya sekitar sepuluh orang yang hadir di ruang tamu itu, dan beberapa orang di antaranya saya kenal. Saya dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu dekat dinding utama (orang Banjar menyebutnya ‘tawing halat’). Semula saya agak risih, diistimewakan duduk di situ, karena yang lain duduk dengan jarak yang cukup jauh dan menghadap ke dinding itu. Alih-alih menduduki alas empuk yang tersedia, saya memilih duduk di karpet saja, seperti hadirin yang lain. “Guru sebentar lagi akan keluar,” kata salah seorang muridnya. Sejurus kemudian, Guru pun keluar dan saya berdiri menyambutnya. Kami kemudian duduk. Dia juga memilih duduk di karpet, tidak di alas empuk.

Setelah saling menanyakan kabar dan kesehatan, Guru Bakhiet memulai pembicaraan. Dia mengatakan, dalam berbagai pengajian di masyarakat Banjar, kini kegemaran pada manakib para wali semakin tinggi. Padahal, banyak riwayat dalam manakib itu yang sulit dipertanggungjawabkan. Apalagi, masyarakat lebih suka pada cerita-cerita keramat, yang cenderung membuat orang malas berjuang, tidak mau repot (indah ngalih) dalam usaha mencapai sesuatu. Padahal, yang utama justru perjuangan itu, baik dalam mujâhadah (melawan hawa nafsu), menjalankan syariat dan sulûk, hingga menghadapi berbagai tantangan dan cobaan hidup.

Saya tentu setuju dengan keprihatinan Guru Bakhiet. Kemudian, saya mencoba memecah ketegangan dengan sebuah cerita soal pembacaan manakib. Di kampung kami, ada seorang ulama yang masih muda dan sering diminta membacakan manakib. Suatu hari, dia diundang membacakan manakib di rumah tetangga saya, dan saya pun turut hadir. Saat mulai membacakan manakib itu, si ulama berkata, “Saya heran, mengapa tiap pembacaan manakib, disediakan kopi pahit. Setelah saya pikir-pikir, mungkin karena datu-datu kita yang gaib itu terkena kencing manis,” katanya. Semua yang hadir, termasuk Guru Bakhiet, meledak tertawa mendengar anekdot saya. Lelucon ulama di kampung saya itu memang cerdas. Dia tidak menolak ‘sesajen’, tetapi mengolok-oloknya menjadi lelucon.

Guru Bakhiet kemudian melanjutkan. Menurutnya, berbagai pernyataan seorang Sufi, termasuk yang dimuat dalam manakib, harus dipahami sesuai dengan konteks kesadaran batin sang Sufi ketika pernyataan itu diungkapkan. Jika pernyataan itu diungkapkan saat sang Sufi mabuk cinta atau fana ‘dalam’ Allah, maka tidak bisa dinilai dengan keadaan normal/biasa. Guru kemudian mengutip pernyataan seorang Sufi terkemuka, Junaid al-Baghdadi: “Siapa yang mengikuti kami di awal perjalanan, maka dia akan selamat. Siapa yang mengikuti kami di akhir perjalanan, maka dia akan binasa.” Maksudnya, jika di awal perjalanan, akan tampaklah perjuangan menjalani sulûk berdasarkan ajaran Syariah. Sedangkan di akhir perjalanan, yang ditemukan adalah pengalaman ruhani tingkat tinggi, yang hanya bisa dipahami oleh orang yang mendapatkan pengalaman serupa, sehingga bagi orang biasa akan mudah salah paham.

Saya kemudian menimpali bahwa menurut hasil penelitian dosen UIN Antasari, pada tahun 2000 ke atas, kebanyakan karya ulama tradisional Banjar memang tentang manakib, yang dalam istilah lain disebut hagiograpi, yakni riwayat hidup orang yang istimewa secara spiritual, yang dalam istilah Islam disebut ‘wali’. Mungkin hal ini antara lain dipicu oleh krisis ekonomi, politik dan budaya yang hebat dan berkepanjangan di awal abad ke-21 itu. Maklum, rezim Soeharto baru saja jatuh pada 1998, antara lain karena krisis moneter, sementara Era Reformasi baru dimulai. Masyarakat yang galau itu perlu tokoh yang dapat menjadi pegangan dan petunjuk jalan, baik yang hidup ataupun yang mati. Manakib adalah salah satu penghadiran tokoh idola yang telah wafat.

Tanpa membantah analisis saya, Guru Bakhiet mengatakan bahwa orang Banjar sejak lama memang sangat gandrung kepada tasawuf. Dia sendiri mengajarkan tasawuf selama berpuluh tahun, dari jemaah yang kecil hingga sekarang ribuan orang. Guru sudah menamatkan pembacaan Ihyâ’ yang empat jilid tebal itu dalam pengajian selama puluhan tahun. Dia juga menamatkan pembacaan Hikam Ibnu Athaillah di pengajian selama kurang lebih enam tahun. Untuk memperkaya pemahaman, Guru Bakhiet menelaah berbagai syarah (komentar) yang telah ditulis para ulama terhadap Hikam, termasuk yang kontemporer seperti karya Said Ramadan al-Bûthî (1929-2013). Saya pun menambahkan bahwa berdasarkan penelitian dosen-dosen UIN Antasari, jumlah pengajian tasawuf di Kalimantan Selatan memang lumayan banyak. Kitab-kitab yang dibaca juga beragam, dari karya-karya al-Ghazali, Ibnu Athaillah hingga al-Palimbani. Selain itu, adapula pengajian kitab tasawuf falsafi seperti Al-Durr al-Nafîs karya Muhammad Nafis dan Risalah Amal Ma’rifah karya Abdurrahman Shiddiq (1859-1939). Bahkan ada juga pengajian yang tanpa kitab. Gurunya mengklaim mendapatkan ilmu laduni. Biasanya pengajian pseudo-tasawuf ini dapat digolongkan kepada aliran sempalan.

Saya kemudian bercerita tentang ‘guru’ yang mengaku mengetahui rahasia besar, yaitu nama Tuhan yang ke-100. Konon jika orang mengetahui nama tersebut, dia akan dijamin masuk surga. Salah seorang mahasiswa kami meneliti masalah ini. Mahasiswa itu bercerita, si Guru itu mengatakan di tengah malam kepada murid-muridnya bahwa nama Tuhan yang ke-100 adalah “nir” yang diambil dari “Bismillâhirrahmâ-nir”, suatu ungkapan aneh dan lucu, karena sama sekali tidak berdasar jika ditinjau dari perbendaharaan bahasa Arab. Meski demikian, ajaran ini mungkin dapat diterima oleh sebagian orang karena memberi alasan untuk meninggalkan salat dan ajaran syariat lainnya. Kalau sudah dijamin surga, bukankah syariat tidak perlu lagi?

Setelah tertawa mendengar cerita nama Tuhan ke-100 itu, Guru Bakhiet mengatakan, kegandrungan orang Banjar terhadap tasawuf itu seharusnya dibarengi dengan kajian fiqh, sehingga syariat, tarekat dan hakikat itu sejalan. Inilah yang sekarang menurutnya mengalami penurunan. Ahli fiqh makin langka. Diskusi Bahtsul Masa’il sudah semakin jarang di kalangan ulama Banjar. Padahal, masalah hidup di zaman ini banyak sekali yang baru, yang perlu pemikiran mendalam untuk menentukan hukumnya. “Kita kehilangan ulama Banjar ahli fiqh seperti (alm.) Tuan Guru Haji Adnani Iskandar (1929-2011). Guru Bakhiet sangat mengagumi keluasan ilmu fiqh ulama yang satu ini. Saat masih muda, dia juga sering mengikuti majelis Guru Adnani Iskandar di Barabai. “Suatu kali, ada orang bertanya tentang boleh tidaknya seorang pria memakai emas suasa (logam dengan kadar emas rendah). Guru Adnani menjawab, ada ulama yang membolehkan. Beliau merujuk kepada salah satu hadis Bukhari di kitab Fath al-Bârî,” kata Guru Bakhiet. Sekarang makin kurang ulama seperti Guru Adnani. Padahal, kata Guru Bakhiet, ulama-ulama Banjar terdahulu selalu mendampingkan fiqh dan tasawuf. Misalnya, dalam bidang fiqh ada kitab Parukunan (karya Fathimah, puteri Muhammad Arsyad al-Banjari), dan ada pula kitab Sabîlal Muhtadin karya Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Selain itu, dipelajari pula kitab Furû’ al-Masâil karangan Dawud al-Fathhâni (1740-1847), kawan seperguruan Arsyad al-Banjari. Dalam kaitan ini, untuk para calon ulama, Guru Bakhiet menganjurkan untuk belajar mazhab empat, agar wawasan mereka luas. Dia sendiri mendidik para santrinya yang sudah lulus Aliyah untuk belajar mazhab-mazhab fiqh. Adapun dalam kajian tasawuf, orang Banjar hingga kini masih mempertahankan tradisi ulama dahulu, yaitu mempelajari Hidâyat al-Sâlikîn dan Sair al-Sâlikîn karya Abd al-Shamad al-Palimbani (1737-1832), yang juga seperguruan dengan Arsyad al-Banjari.

Saya kemudian mengatakan bahwa UIN Antasari tengah mengumpulkan karya-karya ulama Banjar dan Melayu, baik manuskrip ataupun cetak, untuk dipelihara, dikaji dan dipelajari secara ilmiah. Untuk itu, di perpustakaan UIN Antasari sudah didirikan pojok khusus yang disebut ‘Banjar Corner’ dan ‘Melayu Corner’. Saya menceritakan bahwa pojok Banjar dan Melayu itu sudah diisi karangan-karangan ulama Banjar, termasuk banyak manuskrip Arsyad al-Banjari dan keturunannya. Saya juga mengatakan bahwa banyak repro manuskrip ulama Melayu telah kami beli dari Malaysia, yang diterbitkan oleh Khazanah Fathaniyah, peninggalan Wan Muhammad Shagir Abdullah (1945-2007). Saya memohon dukungan dan bantuan Guru Bakhiet. Saya kebetulan telah melihat dan mengoleksi karya adik beliau, Tuan Guru Haji Abdussalam, yang berjudul Suluh Sabîlal Muhtadîn, yang merupakan komentar atau syarah atas karya Arsyad al-Banjari itu. Guru Bakhiet mengatakan bahwa sebagian muridnya telah mencatat berbagai penjelasan yang disampaikannya dalam pengajian kemudian dicetak. Salah satunya adalah penjelasan Guru Bakhiet terhadap Hikam Ibnu Athaillah. Adapula murid-murid Guru Bakhiet yang mengalihaksarakan (mentransliterasi) terjemahan Indonesia bab-bab dalam Ihyâ’ ke huruf Arab Melayu.

Salah satu yang perlu diupayakan ke depan menurut Guru Bakhiet adalah standarisasi penulisan huruf Arab Melayu. Misalnya, dalam penulisan Arab Melayu, kata ‘kumbang’, ‘kembang’ dan ‘kambing’ hanya satu sehingga tidak jelas mana di antara tiga kemungkinan bacaan ini yang benar. Contoh lain, transliterasi huruf ‘k’ untuk kata ‘tidak’ sebaiknya menggunakan huruf ‘qaf’ atau ‘kaf’? Dengan adanya standarisasi, maka kesamaran tulisan untuk suatu kata dapat dihindari. Saran ini saya kira sangat baik. Apalagi masyarakat Banjar cenderung menganggap tulisan Melayu Arab atau Jawi itu sakral karena sama dengan huruf Alqur’an dengan sedikit modifikasi. Saya ceritakan bahwa Fakultas Ushuluddin UIN Antasari pernah membuat buku untuk dijadikan bahan pengajian ilmu tauhid di masyarakat. Buku itu semula ditulis dengan huruf Latin, dan ternyata kurang diminati. Namun setelah ditransliterasi ke Arab Melayu, buku itu menjadi ‘kitab’ yang dipakai di berbagai pengajian. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh huruf Arab Melayu dalam kajian keislaman di masyarakat Banjar.

Saya kemudian meminta Guru Bakhiet, suatu hari jika ada waktu, dapat mengijazahkan sanad keilmuan kepada para mahasiswa kami, khususnya mereka yang mengikuti Program Khusus Ulama (PKU). Guru Bakhiet merendah, bahwa dia tidak pantas datang ke kampus. Namun, setelah saya menyinggung soal sanad keilmuan, perbincangan kami mulai bergeser ke topik jaringan ulama Banjar, khususnya yang terhubung dengan Guru Bakhiet. Dalam pandangan tradisional, sanad atau silsilah, yakni mata rantai keilmuan, dari guru ke murid, sangatlah penting, terutama menyangkut pengajaran kitab-kitab. Sanad keilmuan itu biasanya menghubungkan seorang murid kepada gurunya, guru dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab. Mata rantai murid-guru ini mirip dengan periwayatan hadis, sehingga diberi nama yang sama: sanad. Sanad ini merupakan penyambung otoritas keilmuan pengarang kitab, yang tidak hanya menyalurkan berkah tetapi juga pemahaman. Kadangkala, teks sebuah kitab mengalami salah cetak/salin. Sanad keilmuan inilah yang dapat menunjukkan kesalahan itu melalui tradisi lisan, turun-temurun, dari guru ke murid. Selain itu, kadangkala sebuah kitab sengaja ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan ungkapan yang samar sehingga yang tersirat lebih penting daripada yang tersurat. Teks semacam ini tidak bisa dipahami maksud sebenarnya kecuali melalui tradisi lisan turun-temurun itu.

Kemudian perbincangan kami bergeser ke topik lain. Saya menanyakan silsilah keluarga. Menurut informasi yang telah saya dapatkan, Guru Bakhiet adalah salah satu keturunan Muhammad Arsyad al-Banjari. Setelah saya tanyakan masalah ini, beliau menurunkan volume suaranya, dan mengatakan bahwa ayahnya tidak pernah menceritakan hal ini kepadanya. Mungkin hal ini sebagai bentuk pendidikan sang ayah kepada anaknya, bahwa membanggakan garis keturunan bukanlah sesuatu yang baik. Garis keturunannya itu baru jelas ditunjukkan oleh keluarganya di Sumatra, tepatnya saat ia menziarahi kubur Abdurrahman Siddiq di Indragiri, Riau. Garis keturunannya adalah Muhammad Bakhiet bin Ahmad Mughni, bin Ismail, bin Muhammad Thahir, bin Syihabuddin, bin Muhammad Arsyad. Jadi, Guru Bakhiet adalah generasi kelima. Ayahnya, Ahmad Mughni (1910-1994) berasal dari Negara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Mungkin ini sebabnya, beliau dikenal juga dengan sebutan ‘Amat Negara’ atau ‘Ayah Negara’.

Ahmad Mughni belajar agama kepada ayahnya bernama Ismail. Di Negara waktu itu terdapat langgar barangkap/baloteng atau batingkat, yakni musala dua tingkat. Tingkat pertama dipakai untuk salat dan pengajian, sedangkan tingkat kedua untuk penginapan santri. Orangtua Guru Bakhiet belajar di lingkungan semacam itu. Kemudian, dia melanjutkan studi ke Mekkah, di Shaulatiyah dan Masjidil Haram. Di Mekkah, dia tidak hanya belajar kepada ulama-ulama besar seperti Sayyid Amin Kutbi (1909-1983) dan Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki (1910-1971), melainkan juga bertemu kawan-kawan dari berbagai wilayah Nusantara. Guru Bakhiet juga menceritakan bahwa ikatan emosional ayahnya dengan NU sangat kuat, termasuk ketika NU masih bergabung dengan PPP di masa Orde Baru. Sepulang dari Mekkah pada 1936, Ahmad Mughni mengajar agama di Barabai. Juga pernah mengajar di daerah Panyiuran, Hulu Sungai Utara. Rumah beliau di Barabai sering dikunjungi orang-orang yang ingin belajar kitab padanya. Guru Bakhiet mengenang, bagaimana ayahnya di rumah mengajar Hikam Ibnu Athaillah hanya untuk beberapa orang murid, tetapi di hari yang berbeda. “Saya juga heran, mengapa ayahanda tidak menggabungkan saja semua murid itu belajar di hari yang sama,” kata Guru Bakhiet, yang seringkali ikut duduk belajar bersama mereka. Kebanyakan murid-murid ayahandanya itu adalah ulama juga, seperti Tuan Guru Haji Janawi (1922-2004) dan Tuan Guru Haji Jahri dari Amuntai. Cerita ini menunjukkan bahwa Guru Ahmad Mughni diakui sebagai ahli tasawuf oleh para ulama di zamannya.

Guru Bakhiet sendiri banyak belajar langsung dengan ayahnya. Menurut sebuah sumber, Guru Bakhiet hanya sampai kelas IV menjalani pendidikan dasarnya, yakni pada 1976. Setelah itu, pada 1977 dia melanjutkan belajar di Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, di bawah asuhan Tuan Guru Haji Mahfuzh Amin (1916-1995). Pesantren Ibnul Amin dikenal sebagai pusat pendidikan Islam tradisional dengan sistem naik kitab, bukan naik kelas, dengan titik tekan kemampuan membaca dan memahami kitab kuning. Guru Bakhiet bercerita, di sinilah dia bertemu dengan kawan seperjuangannya, orang Amuntai bernama H. Husaini. Bersama Husaini, dia kelak melanjutkan belajar ke Martapura, sempat sebentar di Pesantren Darussalam, tetapi kemudian pindah ke Pesantren Darussalamah di daerah Kraton, Martapura. Di luar kelas, Bakhiet muda dan kawan-kawannya juga belajar kitab-kitab dengan mendatangi pengajian guru-guru Martapura. Salah satunya adalah pengajian Tuan Guru Haji Syukeri Unus (1948-), ulama asal Amuntai yang tinggal di Martapura. Mungkin karena Husaini adalah orang Amuntai dan teman dekatnya, Bakhiet muda juga tertarik belajar kepada ulama tersebut.

Saya kebetulan mengenal baik H. Husaini (Guru Husaini) karena beliau adalah salah seorang guru di Madrasah Diniyah Al-Ukhuwwah yang dulu dikelola ayah saya di Sungai Karias Amuntai. Saya pun sempat berguru dengannya. Rumah kakek Guru Husaini persis di sebelah rumah kami. Karena itu, percakapan saya dengan Guru Bakhiet makin nyambung. “Ahmad Husaini itu teman sekamar saya. Dia tinggal di rumah kami, belajar kepada ayah, selama tiga tahun,” kata Guru Bakhiet. Dia menceritakan bahwa Husaini adalah anak yang cerdas dan alim. Suatu hari, dia bersama Husaini belajar kitab ilmu manthiq kepada ayahnya. Kemudian Husaini pulang ke Amuntai. Dia kembali membaca teks yang sudah dipelajari, dan bertemu satu bagian yang tidak bisa dipahaminya. Bakhiet muda kemudian bertanya pada ayahnya, apa pengertian teks yang tidak dipahaminya itu. Ayahnya ternyata enggan memberikan penjelasan. Kata ayahnya, Husaini sudah paham teks itu. Jadi, tanyakan saja pada Husaini. Sesuai perintah sang ayah, Bakhiet muda berangkat ke Amuntai dan menemui Husaini, semata untuk bisa memahami teks ilmu manthiq itu tadi. Demikianlah cara ayahnya mendidik mereka berdua.

Saya kemudian melanjutkan cerita tentang kampung kami. Di kampung kami, Sungai Karias, pada awal 1980-an, didirikan sebuah masjid, dengan nama Nurul Ibadah. Masjid itu dibangun dengan gotong royong dan sumbangan masyarakat. Tidak ada sumbangan pemerintah karena masjid itu dianggap sebagai pusat oposisi. Saat itu politik memang sangat keras, antara PPP yang di dalamnya ada NU, dan Golkar sebagai partai penguasa. Masjid Nurul Ibadah itu hanya sekitar seratus meter dari rumah kami. Penggerak awal pendirian masjid ini antara lain adalah Tuan Guru Haji Abdul Karim, Tuan Guru Haji Imberan dan Tuan Guru Haji Zarkasyi (kakek saya). Anehnya, banyak orang luar kampung kami, termasuk yang dari pusat kota Amuntai, yang datang salat Jumat ke masjid kami itu. Rupanya, ada kepercayaan saat itu bahwa, jika imam dan khatib Jumat adalah pengikut Golkar, salatnya tidak sah. Masjid Nurul Ibadah ketika itu dianggap sebagai ‘Masjid PPP’.

Haji Husaini yang masih muda, bersama dengan Haji Bahrun yang senior, saat itu aktif memimpin grup Maulid al-Habsyi di masjid itu, dan saya yang masih kanak-kanak (usia SD) termasuk salah seorang anggotanya. Kala itu, Maulid al-Habsyi belum populer seperti sekarang. Yang lebih populer di Amuntai adalah Maulid al-Diba’i dan Burdah. Yang membawa Maulid al-Habsyi ke Amuntai tampaknya adalah Tuan Guru Haji Ahmad Riduan Lokbangkai (1946-1998), yang merupakan murid dari Tuan Guru Haji Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul). Haji Husaini dan Haji Bahrun tampaknya belajar dengan Guru Ridwan. Selain itu, Haji Husaini dan Haji Bahrun juga memimpin kegiatan grup tadarus Alqur’an untuk anak-anak muda di kampung kami, yang dilaksanakan bergiliran dari rumah ke rumah. Kala itu, saya juga aktif dalam kegiatan tadarus ini.

Guru Bakhiet kemudian bercerita juga tentang politik di zaman itu. Ia mengatakan anggapan bahwa seorang imam yang masuk Golkar tidak sah diikuti juga beredar di Barabai. Ada seorang ulama yang masuk Golkar, sehingga ketika dia menjadi imam dan khatib, jemaah masjid yang mau hadir tinggal seperempat saja. Kuatnya PPP kala itu bukan saja karena alasan ideologis, melainkan juga karena ketokohan K.H. Idham Chalid (1922-2010), sebagai orang Banjar yang menjadi tokoh NU dan Presiden PPP. Guru Bakhiet menceritakan, saat ramai-ramainya konflik internal NU di awal 1980-an, banyak ulama yang datang ke Syekh Yasin Padang (1915-1990) di Mekkah, ‘melapor’ dan meminta nasihat. Uniknya, menurut laporan ajudan Syekh Yasin, Tuan Guru Haji Abrar Dahlan, hanya K.H. Idham Chalid yang diistimewakan. Syekh Yasin selalu menyembelih kambing saat Idham berkunjung ke sana. Setelah diselidiki, salah satu sebabnya adalah akhlak mulia Idham. Ketika bertemu Syekh Yasin, dia tidak melaporkan ini-itu atau menggosip, menjelekkan si A dan si B, tetapi diam saja dan bicara seperlunya. “Ini membuat Syekh Yasin terkesan,” kata Guru Bakhiet. Guru Bakhiet sendiri sempat mendapatkan ijazah sanad keilmuan dan amaliah dari Syekh Yasin, dan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum beliau wafat.

Demikianlah percakapan yang berlangsung hampir dua jam itu, sambil menikmati suguhan nasi ayam, kopi dan kue. Tak terasa, malam sudah mulai larut. Saya khawatir, Guru Bakhiet terlambat pulang ke Barabai malam itu. Meskipun percakapan kami sangat mengasyikkan, saya harus tahu diri. Apalagi masih ada orang-orang yang tampaknya ingin berbicara dengan beliau. Saya akhirnya minta diri, dan mohon didoakan agar diberi keselamatan dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepada saya sebagai pimpinan UIN. Kami bersalaman dan berpisah.

*Saya mengucapkan terima kasih kepada Nur Hidayatullah yang telah memeriksa tulisan ini dan memberikan saran-saran perbaikan.


Artikel ini diambil dari Website Resmi UIN ANTASARI

https://www.uin-antasari.ac.id/dua-jam-bersama-guru-bakhiet/

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Pages