*Hubungan Mesra Ulama Dan Pejabat(1)*, - Muhibbin Pecinta Ulama

Terbaru

Home Top Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Post Top Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Thursday, July 15, 2021

*Hubungan Mesra Ulama Dan Pejabat(1)*,

*Jalinan Emas Ulama-Umara*

*) Oleh Ahmad Dairobi dalam buku "Menjadi Sufi Berduit"

صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس وإذا فسدا فسد الناس العلماء والعممراء 

Ada dua golongan manusia, bila mereka baik, maka masyarakat menjadi baik, bila mereka buruk,  maka masyarakat menjadi buruk, yaitu ulama dan umara ~ HR. Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya ~

Hubungan antara "kubu" ulama dan "kubu" tentu saja mengalami pasang surut sepanjang waktu. Hubungan mereka juga mengalami perubahan kondisi berdasarkan karakter kehidupan karakter sosial-politik di masing-masing wilayah. Namun demikian, hubungan tersebut setidaknya bisa disimpulkan menjadi tiga bentuk karakter yang berbeda.

*Pertama*, kemanunggalan antara ulama dan penguasa. Ini adalah masa keemasan umat Islam, yaitu pada saat ulama dan penguasa berjalan seiring menuju satu titik kebenaran, atau bahkan tidak ada kubu ulama dan kubu penguasa. Pada masa sahabat misalnya, ulama dan penguasa belum menjadi dua kubu yang berbeda, apalagi berlawanan. Sebab yang menjadi penguasa adalah para ulama itu sendiri. Ulama disebut imam dalam dua arti sekaligus, imam dalam urusan agama, juga imam dalam urusan-urusan yang lain. Karakter ini tampak dengan jelas dalam diri khulafaur rasyidin, juga dalam diri khalifah yang dikenal adil dalam sejarah, seperti Umar bin Abdil Aziz, Salahuddin al-Ayyubi dan Sultan Muhammad al-Fatih.

*Kedua*,  yang menjadi penguasa sudah bukan ulama, tapi posisi ulama masih berada di atas para penguasa. Yang dimaksud berada di atas tentu saja bukan berarti penguasa mematuhi titah para ulama secara penuh. Yang dimaksud di sini adalah bahwa para ulama memiliki keberanian untuk melakukan amar makruf nahi munkar kepada penguasa. Ulama masih memiliki kehormatan diri yang tinggi, sehingga tidak "menghamba" kepada penguasa.

Oleh karena itu, tidak sedikit dalam sejarah masa lalu,  para ulama yang berhadapan secara langsung dengan penguasa. Sebut saja, yang paling heroik adalah Said bin Jubair ketika berlawanan dengan Hajjaj binnYusuf, gubernur Irak Dinasti Umayyah yang dikenal sangat kejam. Said tetap teguh memegang prinsip melawan segala bentuk tekanan dari Hajjaj, hingga pada akhirnya beliau harus menghadapi pemenggalan kepala olehnya. Juga, Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara selama dua tahun lebih oleh Al-Mu'tashim karena menentang paham Muktazilah yang dianut kerajaan. Begitu pula, kisah-kisah heroik Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas ketika berhadapan dengan Abu Jakfar al-Manshur dan para penguasa Abbasiyah yang lain.

Pada masa itu, para ulama memiliki karisma yang sangat tinggi di hadapan masyarakat dan para penguasa. Sebab, ulama tidak memiliki kepentingan apapun terhadap penguasa, sehingga mereka tidak gentar sedikitpun untuk menyampaikan kritik tegas jika terjadi penyimpangan kekuasaan. Ini adalah bentuk jihad yang paling bermakna bagi para ulama. Rasulullah saw. menyatakan, "Jihad yang paling utama adalah kalimat adil (kebenaran yang ditegaskan) di hadapan penguasa yang zalim." (HR.  Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri). Jika kaum ulama tidak melakukan jihad amar makruf nahi munkar tersebut, maka karisma mereka akan jatuh. Dalam pidato pertama kekhilafahan, Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menyatakan, "Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad, melainkan Allah pasti memukul mereka dengan kehinaan."

*Ketiga*, masa kelam hubungan ulama-penguasa yang semakin parah dari waktu ke waktu, yaitu saat ulama berada di bawah penguasa, dalam arti bahwa ulama sudah menjadi budak kepentingan bagi para penguasa. Ini adalah masa kelam bagi umat Islam, karena ulama dan penguasa disebut-sebut sebagai dua komponen yang paling berpengaruh bagi kebaikan umat.

Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa akar dari segala kerusakan yang terjadindi masyarakat berawal dari hilangnya kepribadian ulama ketika jiwa mereka sudah dikuasai oleh kepentingan duniawi belaka. Dalam Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menegaskan:

فساد الرعايا بفساد الملوك ، وفساد الملوك بفساد العلماء ، وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه .

Kerusakan rakyat merupakan akibat dari kerusakan para penguasa, kerusakan para penguasa disebabkan oleh kerusakan para ulama, sedangkan kerusakan para ulama disebabkan oleh kegilaan mereka terhadap harta dan jabatan.

Kenapa demikian? Karena ketika seseorang sudah gila harta, maka dia tidak akan memiliki kepedulian dan keberanian untuk hersikap tegas (amar makruf nahi munkar). Alih-alih melakukan nahi munkar terhadap penguasa, ulama tersebut justru tidak peduli dan tidak berani melakukan nahi munkar kepada rakyat jelata sekalipun. Secara psikologis, seseorang memang sangat sulit untuk menyatakan kebenaran dengan tegas jika dia sedang memiliki kepentingan atau hutang budi kepada orang yang dituju.

Ketika para ulama gila harta dan jabatan, maka mereka akan kehilangan jati diri dan kepribadiannya sebagai ulama. Mereka akan cenderung mendekat, bahkan menjilat, kepada para penguasa. Wibawa ulama di hadapan penguasa menjadi jatuh dan hancur lebur. Penguasa tidak lagi memandang ulama dengan rasa hormat, tetapi dengan mata yang dipenuhi pandangan penistaan. Saat itulah, pata penguasa dapat mempermainkan para ulama dengan tanpa beban, bahkan menjadikan mereka sebagai alat dan budak bagi kekuasaannya.

Kenyataan ini menimbulkan efek yang sangat buruk bagi kehidupan beragama di masyarakat. Ketika wibawa ulama jatuh, maka secara otomatis wibawa ilmu agama di mata masyarakat juga ikut-ikutan jatuh. Sebagai akibatnya, masyarakat pun tidak tertarik untuk mempelajari ilmu agama, sehingga ajaran agama menjadi begitu asing di tengah umatnya sendiri. Mengenai hal itu, Imam Hasan al-Bashri (21-110 H) menyatakan:

كان أهل الدنيا يبذلون دنياهم لأهل العلم رغبة في علمهم ، فأصبح أهل العلم اليوم يبذلون علمهم لأهل الدنيا رغبة في دنياهم ، فرغب أهل الدنيا بدنياهم وزهدوا في علمهم لما رأوا من سوء موضعه عندهم .

Dulu ahli dunia (para penguasa dan orang-orang kaya) rela6 mengorbankan kepentingan duniawi mereka demi mendapatkan ilmu agama. Tetapi sekarang justru para ulama yang "mengorbankan" ilmu agama demi kepentingan duniawi. Maka ahli duniawi pun semakin mencintai kepentingan duniawi mereka dan tidak tertarik dengan ilmu agama, karena melihat rendahnya nilai ilmu di kalangan ulama itu sendiri.

Imam Hasan al-Bashri termasuk ulama generasi Tabiin, generasi terbaik ketiga setelah masa Rasulullah saw. dan masa Sahabat. Boleh jadi, beliau menegaskan hal ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap munculnya benih-benih negatif dalam kecenderungan ulama pada masa itu. Jika pada masa beliau saja benih-benih tersebut sudah muncul, lalu bagaimana dengan masa sekarang, yaitu 13 abad setelah masa beliau?

_Kutipan buku "Menjadi Sufi Berduit" hlm 336 - 342._

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pasang Iklan Hub, WA 082198421327

Pages